Landasan Bimbingan dan Konseling
A.
Pendahuluan
Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral
dari pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan
layanan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun
harus berangkat dan berpijak dari suatu landasan yang kokoh, yang didasarkan
pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Dengan adanya pijakan
yang jelas dan kokoh diharapkan pengembangan layanan bimbingan dan konseling,
baik dalam tataran teoritik maupun praktek, dapat semakin lebih mantap dan bisa
dipertanggungjawabkan serta mampu memberikan manfaat besar bagi kehidupan,
khususnya bagi para penerima jasa layanan (klien).
Agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan konseling tidak
terjebak dalam berbagai bentuk penyimpangan yang dapat merugikan semua pihak,
khususnya pihak para penerima jasa layanan (klien) maka pemahaman dan
penguasaan tentang landasan bimbingan dan konseling khususnya oleh para
konselor tampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi mutlak adanya.
Berbagai kesalahkaprahan dan kasus malpraktek yang terjadi
dalam layanan bimbingan dan konseling selama ini,– seperti adanya anggapan
bimbingan dan konseling sebagai “polisi sekolah”, atau berbagai persepsi
lainnya yang keliru tentang layanan bimbingan dan konseling,- sangat mungkin
memiliki keterkaitan erat dengan tingkat pemahaman dan penguasaan
konselor.tentang landasan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain,
penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilakukan secara asal-asalan, tidak
dibangun di atas landasan yang seharusnya.
Oleh karena itu, dalam upaya memberikan pemahaman tentang
landasan bimbingan dan konseling, khususnya bagi para konselor, melalui tulisan
ini akan dipaparkan tentang beberapa landasan yang menjadi pijakan dalam setiap
gerak langkah bimbingan dan konseling.
B.
Landasan Bimbingan dan Konseling
Membicarakan tentang landasan dalam bimbingan dan konseling
pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan landasan-landasan yang biasa diterapkan
dalam pendidikan, seperti landasan dalam pengembangan kurikulum, landasan
pendidikan non formal atau pun landasan pendidikan secara umum.
Landasan
dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang
harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana
utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah
bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang
kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh,
maka bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan
layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau
landasan yang kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan
dan konseling itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang
dilayaninya (klien). Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa
sumber, secara umum terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan
layanan bimbingan dan konseling, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis,
landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi.
Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing landasan
bimbingan dan konseling tersebut:
1.
Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan
landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor
dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa
dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan filosofis
dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban
yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat
dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik
sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai
aliran filsafat yang ada, para penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson,
Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan
tentang hakikat manusia sebagai berikut :
- Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
- Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
- Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
- Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
- Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
- Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
- Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
- Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
- Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia
tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang
dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi
dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok
utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
2.
Landasan Psikologis
Landasan psikologis merupakan
landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku
individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk kepentingan bimbingan dan
konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah
tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c)
perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.
a. Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan
dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif
yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia
lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang
terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau
keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut
diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik)
maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku
instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
b. Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan
dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu.
Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari
keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna kulit,
golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu.
Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk
mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu
berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada
individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau
bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius),
normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula
dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif
dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang
dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup
dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana
yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak
dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
c. Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan
dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa
konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik
dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa
teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan,
diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis
dan kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan
seksual; (3) Teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori
dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang
perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang perkembangan karier; (7)
Teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan (8) Teori dari Havighurst
tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa
dewasa.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya,
konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya
sekaligus dapat melihat arah perkembangan individu itu di masa depan, serta
keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.
d. Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep
yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar,
seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan
belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti
perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan
memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah
tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda
perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun
psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat
belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau
pun hasil belajar sebelumnya.
Untuk memahami tentang hal-hal yang
berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan
rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar Behaviorisme; (2) Teori Belajar
Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3) Teori Belajar Gestalt. Dewasa
ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.
e. Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya
masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan
komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W.
Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi
tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya,
akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih
lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam
diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik
dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian
kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003)
mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang
bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan
dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma)
lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik
bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu
dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur
psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi
kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga
menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang
kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak
dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik
dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan
Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori
Psikologi Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull,
Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin
Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :
- Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
- Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
- Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
- Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
- Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
- Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan
dan konseling dan dalam upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu yang
dilayani (klien) maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap
motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya
(klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi
aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh
kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin
mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi
bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor
dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori
belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian
klien, konselor kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan
kepribadian kliennya. Oleh karena itu, agar konselor benar-benar dapat
menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang
harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi
perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan psikologi
kepribadian.
3. Landasan Sosial-Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan
landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi
kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap
perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan
sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan
dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan
sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan
sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan
sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda
sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan
kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya
ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal
maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses
perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan
pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi
komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara
konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson
dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin
timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a)
perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan
menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh
pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa
non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin
bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu
atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang
biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat
menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan
reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki
lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg
berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture
shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus
berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat
terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan
konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan
dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan
multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia.
Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal
ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling
hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata
mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Layanan bimbingan dan konseling
merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang
menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling
disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode,
seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau
analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks
dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya gerakan
bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika,
pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam
Prayitno, 2003).
Bimbingan dan konseling merupakan
ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah
memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan
konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi,
filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama.
Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan
pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun
prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain
dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai
bentuk penelitian.
Sejalan dengan perkembangan
teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an
peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling.
Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa
komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh.
Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer
interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya
dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui
hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber
counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi
komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi
dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan
teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan
sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah
seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan
pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil
pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Berkenaan dengan layanan bimbingan
dan konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno (2003) memperluas landasan
bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan paedagogis, landasan
religius dan landasan yuridis-formal.
Landasan paedagogis dalam layanan
bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (a) pendidikan sebagai
upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan
pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling; dan (c)
pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.
Landasan religius dalam layanan
bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu : (a) manusia
sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan
manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (c) upaya
yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat
budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang
sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan
pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren
bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual.
Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah
menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan
batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang
kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual.
Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling
yang berlandaskan spiritual atau religi.
Landasan yuridis-formal berkenaan
dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang
penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang
Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri serta berbagai
aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan dan
konseling di Indonesia.
C.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
Sebagai
sebuah layanan profesional, bimbingan dan konseling harus dibangun di atas
landasan yang kokoh.
Landasan bimbingan dan konseling yang kokoh merupakan
tumpuan untuk terciptanya layanan bimbingan dan konseling yang dapat memberikan
manfaat bagi kehidupan.
Landasan bimbingan dan konseling meliputi : (a) landasan
filosofis, (b) landasan psikologis; (c) landasan sosial-budaya; dan (d)
landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Landasan filosofis terutama berkenaan dengan upaya memahami
hakikat manusia, dikaitkan dengan proses layanan bimbingan dan konseling.
Landasan psikologis berhubungan dengan pemahaman tentang
perilaku individu yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling,
meliputi : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan; (c)
perkembangan individu; (d) belajar; dan (d) kepribadian.
Landasan sosial budaya berkenaan dengan aspek sosial-budaya
sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu, yang perlu
dipertimbangakan dalam layanan bimbingan dan konseling, termasuk di dalamnya
mempertimbangkan tentang keragaman budaya.
Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan
layanan bimbingan dan konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang harus senantiasa
mengikuti laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.
Layanan
bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, di samping berlandaskan pada
keempat aspek tersebut di atas, kiranya perlu memperhatikan pula landasan
pedagodis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Landasan Bimbingan dan Konseling
12 f 2008 pada 8:14 am (Bimbingan dan
Konseling)
Tags: Pendidikan
Tags: Pendidikan
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Permasalahan
Setelah memahami pengertian bimbingan dan konseling pada materi
sebelumnya, kami dalam makalah ini akan menguraikan berbagai hal yang menjadi
landasan pelayanan bimbingan dan konseling. Landasan tersebut meliputi landasan
filosofis, religius, psikologis, sosial budaya, pedagogis.
Paparan tentang landasan filosofis membahas tentang hakikat manusia.
Uraian landasan filosofis menyangkut empat dimensi kemanusiaan dan berbagai
pemikiran tentang evolusi perkembangan manusia, tinjauan psikologis tentang
manusia, serta hakikat tentang tujuan dan tugas kehidupan manusia. Landasan
religius masih berbicara tentang manusia, tetapi khusus dikaitkan pada
aspek-aspek keagamaan. Pemuliaan kemanusiaan manusia sebagai makhluk Tuhan
menjadi focus pembahasan.
Uraian tentang landasan psikologis mengemukakan berbagai hal pokok
yang amat besar pengaruhnya terhadap pelayanan bimbingan dan konseling, yaitu
tentang tingkah laku, motif dan motivasi, pembawaan dan lingkungan,
perkembangan dan tugas-tugas perkembangan, belajar dan penguatan dan
kepribadian. Sedangkan tentang landasan sosial budaya dibahas pengaruh sosial
budaya terhadap individu, hambatan-hambatan komunikasi dan penyesuaian diri
sebagai dampak perbedaan antar budaya serta pengaruh perbedaan antar budaya itu
terhadap layanan bimbingan dan konseling. Tentang landasan ilmiah dan
teknologis dibahas secara garis besar keilmuan bimbingan dan konseling, Peranan
ilmu-ilmu lain dan teknologi, serta peranan penelitian dalam pengembangan
bimbingan dan konseling.
Terakhir di bahas tentang peranan secara hakiki pendidikan terhadap
pelayanan bimbingan dan konseling.
2.
Rumusun Masalah
- Apa saja landasan yang digunakan dalam bimbingan dan konseling?
- Bagaimanakah implikasi landasan-landasan tersebut dalam bimbingan
dan konseling?
3.
Tujuan
- Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman/
pengetahuan tentang landasan-landasan apa saja yang digunakan dalam bimbingan
dan konseling dan implikasinya terhadap penerapan BK itu sendiri.
4.
Manfaat
Penulisan makalah ini
diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
a. Mahasiswa dapat mengetahui tentang landasan-landasan yang digunakan
dalam bimbingan konseling.
b. Dapat memberi sumbangsih pengetahuan dalam pembelajaran mata
kuliah bimbingan dan konseling.
PEMBAHASAN
A.
LANDASAN DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
1.
LANDASAN FILOSOFIS
1.1
Makna dan Fungsi Prinsip-prinsip Filosofis Bimbingan Konseling
Kata filosofis atau filsafat berasal dari bahasa Yunani: Philos
berarti cinta dan sophos berarti bijaksana, jadi filosofis berarti kecintaan
terhadap kebijaksanaan. Sikun pribadi mengartikan filsafat sebagai suatu “usaha
manusia untuk memperoleh pandangan atau konsepsi tentang segala yang ada, dan
apa makna hidup manusia dialam semesta ini”.[1]
Filsafat mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa :
1) Setiap manusia harus mengambil keputusan atau tindakan,
2) Keputusan yang diambil adalah keputusan diri sendiri
3) Dengan berfilsafat dapat mengurangi salah paham dan konflik, dan
4) Untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang selalu
berubah.
Dengan berfilsafat seseorang akan memperoleh wawasan atau cakrawala
pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat John J.
Pietrofesa et. al. (1980) mengemukakan pendapat James Cribin tentang
prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan sebagai berikut:
a. Bimbingan hendaknya didasarkan kepada pengakuan akan kemuliaan
dan harga diri individu dan hak-haknya untuk mendapat bantuannya.
b. Bimbingan merupakan proses yang berkeseimbangan
c. Bimbingan harus Respek terhadap hak-hak klien
d. Bimbingan bukan prerogatif kelompok khusus profesi kesehatan
mental
e. Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan
potensi dirinya
f. Bimbingan merupakan bagian dari pendidikan yang bersifat
individualisasi dan sosialisasi
1.2
Hakikat Manusia
a. B.F Skinner dan Watsan (Gerold Corey, Terjemahan E. Koeswara,
1988). Mengemukakan tentang hakekat manusia:
- Manusia dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan
negatif yang sama
- Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan
sosial budaya
- Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari
- Manusia tidak memiliki kemampuan untuk membentuk nasibnya sendiri
b.Virginia Satir (Dalam Thompson dan Rodolph, 1983). Memandang bahwa
manusia pada hakekatnya positif, Satir berkesimpulan bahwa pada setiap saat,
dalam suasana apapun juga, manusia dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar
dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Upaya-upaya bimbingan dan konseling perlu didasarkan pada pemahaman
tentang hakekat manusia agar upaya-upaya tersebut dapat lebih efektif.
1.3
Tugas dan Tujuan Kehidupan
Witner dan Sweeney (dalam Prayitno dan Erman Anti, 2002)
mengemukakan bahwa ciri-ciri hidup sehat ditandai dengan 5 kategori, yaitu:
- Spiritualitas ~ agama sebagai sumber inti dari hidup sehat.
- Pengaturan diri ~ seseorang yang mengamalkan hidup sehat pada
dirinya terdapat ciri-ciri 1. rasa diri berguna, 2. pengendalian diri,
3.pandangan realistik, 4. spontanitas dan kepekaan emosional, 5. kemampuan
rekayasa intelektual, 6. pemecahan masalah, 7. kreatif, 8. kemampuan berhumor
dan, 9. kebugaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat.
- Bekerja ~ untuk memperoleh keuntungan ekonomis, psikologis dan
sosial
- Persahabatan ~ persahabatan memberikan 3 keutamaan dalam hidup
yaitu 1. dukungan emosional 2. dukungan material 3. dukungan informasi .
- Cinta ~ penelitian flanagan 1978 (dalam Prayitno dan Erman Anti,
2006) menemukan bahwa pasangan hidup suami istri, anak dan teman merupakan tiga
pilar utama bagi keseluruhan pencipta kebahagiaan manusia.
Paparan tentang hakikat, tujuan dan tugas kehidupan manusia diatas
mempunyai implikasi kepada layanan bimbingan dan konseling.
B.
Landasan Historis
- Sekilas tentang sejarah bimbingan dan konseling
Secara umum, konsep bimbingan dan konseling telah lama dikenal
manusia melalui sejarah. Sejarah tentang pengembangan potensi individu dapat
ditelusuri dari masyarakat yunani kono. Mereka menekankan upaya-upaya untuk
mengembangkan dan menguatkan individu melalui pendidikan. Plato dipandang
sebagan koselor Yunani Kuno karena dia telah menaruh perhatian besar terhadap
masalah-masalah pemahaman psikologis individu seperti menyangkut aspek isu-isu
moral, pendidikan, hubungan dalam masyarakat dan teologis.
- Perkembangan Layanan Bimbingan di Amerika
Sampai awal abad ke-20 belum ada konselor disekolah. Pada saat itu
pekerjaan-pekerjaan konselor masih ditangani oleh para guru.
Gerakan bimbingan disekolah mulai berkembang sebagai dampak dari
revolusi industri dan keragaman latar belakang para siswa yang masuk
kesekolah-sekolah negeri. Tahun 1898 Jesse B. Davis, seorang konselor di
Detroit mulai memberikan layanan konseling pendidikan dan pekerjaan di SMA.
Pada tahun 1907 dia memasukkan program bimbingan di sekolah tersebut.
Pada waktu yang sama para ahli yang juga mengembangkan program
bimbingan ini diantaranya; Eli Weaper, Frank Parson, E.G Will Amson, Carlr.
Rogers.
- Eli Weaper pada tahun 1906 menerbitkan buku tentang “memilih suatu
karir” dan membentuk komite guru pembimbing disetiap sekolah menengah di New
York. Kamite tersebut bergerak untuk membantu para pemuda dalam menemukan
kemampuan-kemampuan dan belajar tentang bimbingan menggunakan
kemampuan-kemampuan tersebut dalam rangka menjadi seorang pekerja yang
produktif.
- Frank Parson dikenal sebagai “Father of The Guedance Movement in
American Education”. Mendirikan biro pekerjaan tahun 1908 di Boston
Massachussets, yang bertujuan membantu pemuda dalam memilih karir uang
didasarkan atas proses seleksi secara ilmiyah dan melatih guru untuk memberikan
pelayanan sebagai koselor.
Bradley (John J.Pie Trafesa et. al., 1980) menambah satu tahapan
dari tiga tahapan tentang sejarah bimbingan menurut Stiller, yaitu sebagai
berikut:
1) Vocational exploration : Tahapan yang menekankan tentang analisis
individual dan pasaran kerja
2) Metting Individual Needs : Tahapan yang menekankan membantu
individu agar meeting memperoleh kepuasan kebutuhan hidupnya. Perkembangan BK
pada tahapan ini dipengaruhi oleh diri dan memecahkan masalahnya sendiri.
3) Transisional Professionalism : Tahapan yang memfokuskan perhatian
kepada upaya profesionalisasi konselor
4) Situasional Diagnosis : Tahapan sebagai periode perubahan dan
inovasi pada tahapan ini memfokuskan pada analisis lingkungan dalam proses
bimbingan dan gerakan cara-cara yang hanya terpusat pada individu.
- Perkembangan Layanan Bimbingan Di Indonesia
Layanan BK di industri Indonesia telah mulai dibicarakan sejak tahun
1962. ditandai dengan adanya perubahan sistem pendidikan di SMA yakni dengan
adanya program penjurusan, program penjurusan merupakan respon akan kebutuhan
untuk menyalurkan siswa kejurusan yang tepat bagi dirinya secara perorangan.
Puncak dari usaha ini didirikan jurusan Bimbingan dan penyuluhan di Fakultas
Ilmu Pendidikan IKIP Negeri, salah satu yang membuka jurusan tersebut adalah
IKIP Bandung (sekrang berganti nama Universitas Pendidikan Indonesia).
Dengan adanya gagasan sekolah pembangunan pada tahun 1970/1971,
peranan bimbingan kembali mendapat perhatian. Gagasan sekolah pembangunan ini
dituangkan dalam program sekolah menengah pembangunan persiapan, yang berupa
proyek percobaan dan peralihan dari sistem persekolahan Cuma menjadi sekolah
pembangunan.
Sistem sekolah pembangunan tersebut dilaksanakan melalui proyek
pembaharuan pendidikan yang dinamai PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan)
yang diujicobakan di 8 IKIP. Badan pengembangan pendidikan berhasil menyusun 2
naskah penting yakni dengan pola dasar rencana-rencana pembangunan program
Bimbingan dan penyuluhan melalui proyek-proyek perintis sekolah pembangunan dan
pedoman operasional pelayanan bimbingan pada PPSP.
Secara resmi BK di programkan disekolah sejak diberlakukan kurikulum
1975, tahun 1975 berdiri ikatan petugas bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang.
Penyempurnaan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 dengan memasukkan
bimbingan karir di dalamnya. Selanjutnya UU No. 0/1989 tentang Sisdiknas
membuat mantap posisi bimbingan dan konseling yang kian diperkuat dengan PP No.
20 Bab X Pasal 25/1990 dan PP No. 29 Bab X Pal 27/1990 yang menyatakan bahwa
“Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya
menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan.
Perkembangan BK di Indonesia semakin mantap dengan berubahnya 1 PBI
menjadi ABKIN (Asuransi Bimbingan dan Konseling Indonesia) tapa tahun 2001.
C.
Landasan Religius
Dalam landasan religius BK diperlukan penekanan pada 3 hal pokok:
a. Keyakinan bahwa mnusia dan seluruh alam adalah mahluk tuhan
b. Sikap yang mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia
berjalan kearah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama
c. Upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara
optimal suasana dan perangkat budaya serta kemasyarakatan yang sesuai dengan
kaidah-kaidah agama untuk membentuk perkembangan dan pemecahan masalah individu
Landasan Religius berkenaan dengan :
- Manusia sebagai Mahluk Tuhan
Manusia adalah mahluk Tuhan yang memiliki sisi-sisi kemanusiaan.
Sisi-sisi kemanusiaan tersebut tdiak boleh dibiarkan agar tidak mengarah pada
hal-hal negatif. Perlu adanya bimbingan yang akan mengarahkan sisi-sisi
kemanusiaan tersebut pada hal-hal positif.
- Sikap Keberagamaan
Agama yang menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat menjadi
isi dari sikap keberagamaan. Sikap keberagamaan tersebut pertama difokuskan
pada agama itu sendiri, agama harus dipandang sebagai pedoman penting dalam
hidup, nilai-nilainya harus diresapi dan diamalkan. Kedua, menyikapi
peningkatan iptek sebagai upaya lanjut dari penyeimbang kehidupan dunia dan
akhirat.
- Peranan Agama
Pemanfaatan unsur-unsur agama hendaknya dilakukan secara wajar,
tidak dipaksakan dan tepat menempatkan klien sebagai seorang yang bebas dan
berhak mengambil keputusan sendiri sehingga agama dapat berperan positif dalam
konseling yang dilakukan agama sebagai pedoman hidup ia memiliki fungsi :
a. Memelihara fitrah
b. Memelihara jiwa
c. Memelihara akal
d. Memelihara keturunan
D.
Landasan Psikologis
Landasan prikologis dalam BK memberikan pemahaman tentang tingkah
laku individu yang menajadi sasaran (klien). Hal ini sangat penting karena
bidang garapan bimbingan dan konseling adalah tingkah laku klien, yaitu tingkah
laku yang perlu diubah atau dikembangkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi
Untuk keperluan bimbingan dan konseling sejumlah daerah kajian dalam
bidang psikologi perlu dikuasai, yaitu tentang:
1. Motif dan motivasi
2. Pembawaan dasar dan lingkungan
3. Perkembangan individu
4. Belajar, balikan dan penguatan
5. Kepribadian
E.
Landasan Sosial Budaya
Kebudayaan akan bimbingan timbul karena terdapat faktor yang
menambah rumitnya keadaan masyarakat dimana individu itu hidup. Faktor-faktor
tersebut seperti perubahan kontelasi keuangan, perkembagan pendidikan,
dunia-dunia kerja, perkembangan komunikasi dll (Jonh), Pietrofesa dkk, 1980; M.
Surya & Rochman N, 1986; dan Rocman N, 1987)
- Individu sebagai Produk Lingkungan Sosial Budaya
MC Daniel memandang setiap anak, sejak lahirnya harus memenuhi tidak
hanya tuntutan biologisnya, tepapi juga tuntutan budaya ditempat ia hidup,
tuntutan Budaya itu menghendaki agar ia mengembangkan tingkah lakunya sehingga
sesuai dengan pola-pola yang dapat diterima dalam budaya tersebut.[2]
Tolbert memandang bahwa organisasi sosial, lembaga keagamaan,
kemasyarakatan, pribadi, dan keluarga, politik dan masyarakat secara menyeluruh
memberikan pengaruh yang kuat terhadap sikap, kesempatan dan pola hidup
warganya. Unsur-unsur budaya yang ditawarkan oleh organisasi dan budaya
lembaga-lembaga tersebut mempengaruhi apa yang dilakukan dan dipikirkan oleh
individu, tingkat pendidikan yang ingin dicapainya, tujuan-tujuan dan
jenis-jenis pekerjaan yang dipilihnya, rekreasinya dan kelompok-kelompok yang
dimasukinya.[3]
Bimbingan konseling harus mempertimbangkan aspek sosial budaya dalam
pelayanannya agar menghasilkan pelayanan yang lebih efektif.
- Bimbingan dan Konseling Antara Budaya
Menurut Pedersen, dkk ada 5 macam sumber hambatan yang mungkin
timbul dalam komunikasi non verbal, stereotip, kecenderungan menilai, dan
kecemasan[4].
Perbedaan dalam latar belakang ras atau etnik, kelas sosial ekonomi
dan pola bahasa menimbulkan masalah dalam hubungan konseling.
Beberapa Hipotesis yang dikemukakan Pedersen dkk (1976) tentang
berbagai aspek konseling budaya antara lain:
- Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling antara
budaya pada diri konselor dan klien maka konseling akan berhasil
- Makin besar kesamaan pemohonan tentang ketergantungan, komunikasi
terbuka, maka makin efektif konseling tersebut
- Makin sederhana harapan yang diinginkan oleh klien maka makin
berhasil konseling tersebut
- Makin bersifat personal, penuh suasana emosional suasana konseling
antar budaya makin memudahkan konselor memahami klien.
- Keefektifan konseling antara budaya tergantung pada kesensitifan
konselor terhadap proses komunikasi
- Keefektifan konseling akan meningkat jika ada latihan khusus serta
pemahaman terhadap permasalahan hidup yang sesuai dengan budaya tersebut.
- Makin klien kurang memahami proses konseling makin perlu konselor
/program konseling antara budaya memberikan pengarahan tentang proses
ketrampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan dan transfer.
F.
Landasan ilmiah dan Teknologis
Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan professional
yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori-teorinya,
pelaksanaan kegiatannya, maupun pengembangan-pengembangan layanan itu secara
berkelanjutan.
1.
Keilmuan Bimbingan dan Konseling
Ilmu bimbingan dan konseling adalah berbagai pengetahuan tentang
bimbingan dan konseling yang tersusun secara logis dan sistematik. Sebagai
layaknya ilmu-ilmu yang lain, ilmu bimbingan dan konseling mempunyai obyek
kajiannya sendiri, metode pengalihan pengetahuan yang menjadi ruang lingkupnya,
dan sistematika pemaparannya.
Obyek kajian bimbingan dan konseling ialah upaya bantuan yang
diberikan kepada individu yang mangacu pada ke-4 fungsi pelayanan yakni fungsi
pemahaman, pencegahan, pengentasan dan pemeliharaan/ pengembangan. Dalam
menjabarkan tentang bimbingan dan konseling dapat digunakan berbagai cara/
metode, seperti pengamatan, wawancara, analisis document (Riwayat hidup,
laporan perkembangan), prosedur teks penelitian, buku teks, dan tulisan-tulisan
ilmiah lainnya mengenai obyek kajian bimbingan dan konseling merupakan wujud
dari keilmuan bimbingan dan konseling.
2.
Peran Ilmu Lain dan Teknologi dalam Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat
multireferensial, artinya ilmu dengan rujukan berbagai ilmu yang lain. Misalnya
ilmu statistik dan evaluasi memberikan pemahaman dan tehnik-tehnik. Pengukuran
dan evaluasi karakteristik individu; biologi memberikan pemahaman tentang
kehidupan kejasmanian individu. Hal itu sangat penting bagi teori dan praktek
bimbingan dan konseling.
3.
Pengembangan Bimbingan Konseling Melalui Penelitian
Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling boleh jadi
dapat dikembangkan melalui proses pemikiran dan perenungan, namun pengembangan
yang lebih lengkap dan teruji didalam praktek adalah apabila pemikiran dan
perenungan itu memperhatikan pula hasil-hasil penelitian dilapangan. Melalui
penelitian suatu teori dan praktek bimbingan dan konseling menemukan pembuktian
tentang ketepatan/ keefektifan dilapangan. Layanan bimbingan dan konseling akan
semakin berkembangan dan maju jika dilakukan penelitian secara terus menerus
terhadap berbagai aspek yang berhubungan dengan BK.
G.
Landasan Pedagogis
Pendidikan itu merupakan salah satu lembaga sosial yang universal
dan berfungsi sebagai sarana reproduksi sosial ( Budi Santoso, 1992)
1. Pendidikan sebagai upaya pengembangan Individu: Bimbingan
merupakan bentuk upaya pendidikan.
Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Seorang bagi manusia
hanya akan dapat menjadi manusia sesuai dengan tuntutan budaya hanya melalui
pendidikan. Tanpa pendidikan, bagi manusia yang telah lahir itu tidak akan
mampu memperkembangkan dimensi keindividualannya, kesosialisasinya,
kesosilaanya dan keberagamaanya.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
menetapkan pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
2. Pendidikan sebagai inti Proses Bimbingan Konseling.
Bimbingan dan konseling mengembangkan proses belajar yang dijalani
oleh klien-kliennya. Kesadaran ini telah tampil sejak pengembangan gerakan
Bimbingan dan Konseling secara meluas di Amerika Serikat . pada tahun 1953,
Gistod telah menegaskan Bahwa Bimbingan dan Konseling adalah proses yang berorientasi
pada belajar……, belajar untuk memahami lebih jauh tentang diri sendiri, belajar
untuk mengembangkan dan merupakan secara efektif berbagai pemahaman.. (dalam
Belkin, 1975). Lebih jauh, Nugent (1981) mengemukakan bahwa dalam konseling
klien mempelajari ketrampilan dalam pengambilan keputusan. Pemecahan masalah,
tingkah laku, tindakan, serta sikap-sikap baru . Dengan belajar itulah klien
memperoleh berbagai hal yang baru bagi dirinya; dengan memperoleh hal-hal baru
itulah klien berkembang.
3. Pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan Bimbingan tujuan dan
konseling
Tujuan Bimbingan dan Konseling disamping memperkuat tujuan-tujuan
pendidikan, juga menunjang proses pendidikan pada umumnya. Hal itu dapat
dimengerti karena program-program bimbingan dan konseling meliputi aspek-aspek
tugas perkembangan individu, khususnya yang menyangkut kawasan kematangan
pendidikan karier, Kematangan personal dan emosional, serta kematangan sosial,
semuanya untuk peserta didik pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP) dan pendidikan
menengah (Borders dan Drury, 1992). Hasil-hasil bimbingan dan konseling pada
kawasan itu menunjang keberhasilan pendidikan pada umumnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari pembahasan yang diuraikan didepan dapat ditarik kesimpulan
bahwa pelayanan bimbingan dan konseling memerlukan berbagai landasan,
diantaranya:
1. Landasan Filosofis: Landasan filosofis memberikan
pemikiran-pemikiran tentang hakikat dan tujuan hidup manusia dipandang dari
perspektif filsafat untuk menemukan hakikat manusia secara utuh mengingat
bimbingan konseling akan selalu berkaitan dengan manusia sebagai objeknya.
2. Landasan Historis: Landasan histories menjelaskan alur/ sejarah
kemunculan bimbingan konseling pertama kali, yang menjadi titik awal lahirnya
Bimbingan konseling untuk dijadikan refleksi bagi bimbingan dan konseling
kedepan dalam rangka menghasilkan pelayanan yang lebih baik lagi.
3. Landasan Religius: Landasan religius menggambarkan sisi-sisi
agama yang perlu dikorek, diaplikasikan kedalam pelayanan bimbingan dan konseling
karena bimbingan dan konseling tidak akan lepas dari manusia sebagai objeknya
dan realitas bahwa manusia merupakan makhluk religius.
4. Landasan Psikologis: Landasan psikologis menggambarkan sisi-sisi
psikis individu, sisi psikis tersebut berkenaan dengan motif, motivasi,
pembawaan dan lingkungan, perkembangan individu, belajar, balikan dan penguatan
dari kepribadian. Mengingat klien memiliki psikis yang berbeda maka konselor
harus memahami tentang landasan psikologis
5. Landasan Sosial Budaya: Landasan social budaya menunjukkan
pentingnya gambaran aspek-aspek social budaya yang mewarnai kehidupan
seseorang. Aspek social budaya inilah yang membentuk individu selain factor
pembawaan, tepatlah jika landasan ini menjadi bahan pertimbangan dalam
memberikan pelayanan bimbingan konseling.
6. Landasan Ilmiah dan Teknologi: Landasan ilmiah dan teknologi
membicarakan tentang sifat-sifat keilmuan bimbingan dan konseling. Bimbingan
dan konseling sebagai ilmu yang multireferensial menerima sumbangan dari
ilmu-ilmu lain dan teknologi, penelitian dalam bimbingan dan konseling
memberikan masukan penting bagi pengembangan keilmuan Bimbingan konseling.
7. Landasan Pedagogis: Landasan pedagogis mengemukakan bahwa
bimbingan merupakan salah satu bagian dari pendidikan yang amat penting dalam
upaya untuk memberikan bantuan (pemecahan-pemecahan masalah) motivasi agar
peserta didik dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar